Cerbung :
Gadis di Ujung Senja (Bag 2)
___Preview : Dia adalah gadis
cantik yang terlahir ditengah keluarga yang kaya raya, kecantikan dan setatus social
itu yang menjadikan Dia sebagai sosok yang begitu fenomenal, di sekolah,
lingkungan tempat tinggalnya, juga teman-teman sebayanya. Bahkan Dia dianugrahi
gelar "Ratu sekolah" di sekolahnya. Namun, segala kemewahan dan hal yang
dimilikinya itu ternyata menghantarkan Dia kegerbang pergaulan yang kelam dan
menjaikannya sosok yang egoistis. Hingga kejadian yang tak terlupakanpun menghampiri
kehidupannya. Sesaat setelah pertengkarannya dengan Wahyu,sahabat yang juga
secara diam-diam menaruh hati padanya.
Cuaca siang itu amat menyengat, pancaran mentari yang menyentuh
permukaan bumi seakan tengah berada di titik tertingginya. Nampak seorang siswa
dengan seragam putih-abuabunya melangkah, menyusuri lorong sekolah yang menghubungkan
ruangan kelas dengan ruang Guru. Perawakan tinggi kekar dengan rambut hitam
lurus yang dibelah 7/3 terlihat mantap melangkah, menuju ruangan di ujung
lorong itu. Diatas tangannya tertumpuk beberapa buku yang menjulang hingga
menutupi bagian dadanya.
"Woey...!!" Tepukan tangan seseorang yang mendarat di
pundaknya sontak membuat ia terkejut.
“ Kemane Bray?” lanjutnya.
“Ah elo Dith, ngagetin aja. Ini kaga liat? nganterin buku ke ruangannya
pak Hasbun” Jawab pria itu.
“Sini gue bantuin, kesiksa bener lo keliatanya” tawar Radith yang
melihat Wahyu kesulitan dengan tumpukan buku-buku di tangannya.
“Ah syukur deh, gue kira lo kaga ngerti”
Radhit hanya terbahak mendengar jawaban Wahyu,
sahabatnya, kemudian mengalihkan sebagian buku dari tangan wahyu ke
genggamannya.
“Eh iya, lo udah dapat kabarnya Dia?” Tanya Radith
sekembalinya dari ruangan pak Hasbun. Wahyu yang ditanya hanya mengangkat kedua
bahunya.
“Tau deh, udah berkali-kali gue tanya ke keluarganya,
tapi jawabannya masih sama. Dia masih gak mau ketemu sama siapapun.” Ucap Wahyu
lirih. Lalu pandangannya dilempar jauh ke depan, seolah tergambar kembali
kesedihan yang selama ini ia coba sembunyaikan. Kerinduan dan kekhawatiran
terdengar jelas dari nada suaranya.
“Huuuffgh,…!!” Nafas beratpun ia hembuskan.
“Ya sudahlah Bray,
mungkin memang ini yang terbaik untuk Dia dan kita semua. Doakan saja
semoga semua bisa menjadi lebih baik.” Radhit seolah tahu persis bahwa
sahabatnya tengah mengalami kegundahan yang maha dahsyat.
“Ah apaan
sih lo, so melankolis banget dah.” Tangan wahyu berusaha menyingkirkan tangan
Radith yang bertengger di pundaknya.
“Haha… yah elah Yu, sekali-kali kite romantic kan
gak apa-apa kali” ledek Radith yang melihat Wahyu sibuk menyembunyikan kesedihan
yang mulai terlihat di roman wajahnya.
“Najooong….!!” Pungkas Wahyu yang berlari, berusaha
mendahului Radith yang berada di sampingnya. Lalu kedua sahabat itu berlari, saling
kejar, langkah mereka diiringi dengan gelak tawa dan candaan.
Memang tidak ada yang berubah dari sosok Wahyu
pasca pemberitaan media tentang kasus yag menimpa sahabat serta gadis yang dicintainya
secara diam-diam itu. Ia tetap terlihat kalem dan cool. Prestasi di sekolanya pun tetap stabil, seakan tidak ada
kekhawatiran apapun dalam dirinya. Tapi, bagi orang-orang terdekatnya, termasuk
Radith, Wahyu jelas tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Meski kerap ia
menyembunyikan kesedihan dan kekhawatiran yang teramat sangat dengan canda tawa dalam kebersamaan
mereka. Kerinduan akan sosok Dia jelas diembannya saat ini.
***
Sementara itu…
Di tempat yang berbeda, dilereng bukit yang berselimut kabut tipis nan
putih, dengan suhu udara yang pastinya jauh berbeda dengan Ibu kota dan segala
hingar bingar dan pencemaran polusinya.
Gadis cantik terbalut pakaian yang serupa dengan orang-orang
disekelilingnya terlihat menyendiri disalah satu kursi yang tersebar di area
taman rindang itu. Tangannya terlihat aktif menggerakan pena yang menari di
atas sebuah buku, sesekali pandangannya ia lempar kesekeliling taman lalu
kembali tertunduk, menatapi rentetan hurup yang ia cipta.
"Nona Dia, Dokter Aldi memintamu untuk datang ke ruangannya."
Suara seorang wanita berseragam serba putih menghentikan aktifitasnya.
"Ah ya, terimakasih Suster." Ucapnya dengan seulas senyum
manis yang ia lemparkan.
"Sama-sama, mari saya duluan"
Dia hanya mengangguk untuk mengiyakan. Masih, dengan senyum manisnya
yang mengembang.
Setelah suster tadi berlalu, tangan Dia kembali sibuk merapikan beberapa
buku dan pulpen yang berserak di sekelilingnya, kemudian melangkah, meninggalkan
keasrian taman dan lamunannya, menuju ruang yang dimaksudkan.
Dia, gadis cantik berusia belasan tahun yang kini tercatat sebagai salah
satu penghuni panti rehabilitasi yang berlokasi di pinggiran kota Bandung, terlihat
lebih ceria dari pertama kali ia dikirim ke tempat tersebut.
Kehidupan dan suasana panti telah mampu melahirkan Dia yang baru, kendati
beberapa minggu pertama di panti terasa seperti neraka baginya. Terisolasi
dalam lingkungan yang sangat tertutup dengan minimnya prasarana dan alat
komunikasi, terlebih internet. No BBM, No
Watsapp, No Facebook, No Twitter dan berbagai media sosial lainnya semakin menambah
nilai kejenuhannya.
Namun seiring berjalannya waktu, perlahan Dia telah bisa beradaptasi dan
mulai terbiasa dengan keadaan tersebut. Bahkan, sosok Dia yang manja, judes dan
egoistis kini telah lenyap, berganti dengan Dia yang kalem, mandiri dan selalu menebar
senyum pada siapapun. Ya, ternyata masalah dan kesulitan telah memberikan Dia
banyak pelajaran, dan pengalaman tersebut mengantarkannya pada kedewasaan yang
sebenarnya.
Took.. Took…. Tangan Dia mengetuk daun pintu ruangan Dokter Aldi.
“Ya, masuk.” Sahut suara
dari dalam ruangan bercat putih itu.
Nampak seorang Pria berperawakan sedang yang mengenakan pakaian serba
putih, mirip seperti Suster tadi. Kacamata yang terpampang menutupi matanya
menambah kesan wibawa pada dirinya.
“Siang Dok” Sapa Dia
saat mulai memasuki ruangan tersebut.
“Hai Dia, selamat
siang. Bagaimana kondisimu hari ini?” Sambut Pria yang dipanggil “Dok” itu. Ternyata
dialah dokter Aldi, dokter yang selama ini mengawasi perkembangan psikis dan
pesikologi para penghuni panti, termasuk Dia.
“Saya baik, dokter
sendiri bagaimana?” Jawab Dia.
“Syukurlah, saya juga selalu
baik pastinya. Mari silahkan duduk.” Kemudian dengan senyum ramahnya, dokter
Aldi mempersilahkan Dia menduduki kursi yang berada dihadapan meja kerjanya.
“Emmmh…Dia Prameswari,
Perkembangan kondisi kamu melesat drastis yah. Waah hebat.” Ucapnya dengan mata
yang masih khusyuk menatap lembar-lembar kertas di tangannya.
“Terus pertahankan,
makan teratur dan konsumsi obat serta olahraganya jangan lupa ya. Bila dalam
seminggu ini kondisimu terus membaik, kamu bisa mengajukan waktu kepulanganmu
lebih cepat dari yang ditentukan.” Terang sang dokter.
“Benarkah dok, saya
bisa segera pulang?” Tanya Dia meyakinkan tentang apa yang barusan didengarnya.
“Betul” Jawab dokter
dengan anggukan pasti.
“Ngomong-ngomong,
menurut penuturan suster jaga, belakangan ini kamu sering tidur larut, kenapa
Di? Apa ada sesuatu ynag mengganggumu?” lanjut dokter
“Ah.. tidak ada apa-apa
dok, hanya saja beberapa hari kebelakang saya lagi suka menekuni hobby lama
saja” tutur Dia menjelaskan.
“Hobby? Apakah itu?”
tanya dokter menyelidik.
“Menulis dok.” Jawab Dia
malu-malu.
“Ooh.. wah bagus itu,
terus kembangkan. Tapi ingat, harus jaga
kesehatan juga yah.”
“Baik dok, terimakasih.”
“Kapan-kapan boleh saya
baca tulisannya?” tanya dokter Aldi dengan senyum yang masih melekat di keua
bibirnya.
“Tentu saja boleh,
nanti kalau ceritanya sudah selesai dokter yang jadi pembaca pertama saya ya.”
Jawab Dia setengah bercanda.
“Deal!” jawab dokter
Aldi, dan tawa merekapun memenuhi seisi ruangan tersebut.
***
Beberapa minggu sudah Dia kembali ke rumah mewahnya, setelah beberapa
bulan tinggal jauh dari rumah dan keluarga serta kehidupan yang dulu
dimilikinya, kini segalanya telah kembali ketempatnya semula. Hanya saja satu
hal yang memang telah berubah, sikap dan sifat Dia.
“Sayang, apa kamu masih
tidak mau nak Wahyu mengetahui kepulanganmu ini?” Tanya Ibu Cokro, yang
terduduk di hadapan Dia yang sibuk menatap layar PC dengan tangan yang tak
kalah sibuknya menari diatas keyboard
.
“Kasihan dia, entah
sudah berapa puluh kali nak Wahyu menelpon Mamah untuk mencari tahu
keberadaanmu.” Lanjutnya.
“Dia masih malu untuk
bertemu dengannya Mah” Kali ini pandangannya beralih menatap wajah cantik Mamahnya.
“Yakin deh, suatu saat nanti Dia pasti akan menemuinya,
tapi tidak dalam waktu dekat ini.” Jawab Dia lirih.
Bu Cokro hanya mengangguk seraya mengelus rambut putri semata wayangnya itu,
dengan penuh kasih ia lalu memeluknya. Inilah kebahagiaan baginya, bukan harta
benda yang melimpah, tapi kasih sayang dan keutuhan keluarga.
__Bersambung...
Comments
Post a Comment