Cerpen : Jalan Hidup (Published 2 Apakabar plus Edisi #06 Thn VIII
Jalan
Hidup
"Sekar...!"
suara berat yang terdengar sudah tidak asing lagi di telinga
membuyarkan lamunanku, lamunan akan masa yang lalu.
.... 2 tahun lalu.
"Sudahlah Sekar,
berhentilah menangis. " suara Ibu yang terdengar tegas
menenangkanku namun beliau jelas tidak bisa menyembunyikan paraunya
suara itu, seolah ada sesuatu yang menggantung diujung
kerongkongannya, sesuatu yang begitu berat yang ingin beliau tahan.
"Tapi Sekar tetap
harus melanjutkan kuliah Sekar bu, kalau sekar harus berhenti
sekarang bagaimana dengan masa depan Sekar kelak?" Air mataku
semakin deras mengalir, ada rasa marah, kesal dan entah apalah yang
bercampur aduk bersama lelehannya.
"Ibu mengerti nak,
Ibu juga merasakan apa yang kamu rasakan." kali ini suara Ibu
sudah terselingi dengan isakan, rupanya beliau sedah tidak mampu
menahan tangisnya lagi. Ada rasa sakit yang mencubit-cubit hati saat
kulihat aliran anak sungai semakin deras membelah pipi mulus Ibu.
"Maafkan Ibu
Sekar, maafkan Ibu yang tidak bisa banyak membantumu." tangisan
ibu semakin memecah dalam pelukanku, kudekap erat tubuh beliau, erat
dan semakin erat.
.....
Perkenalkan namaku
Sekar, Sekar Arum Ningsih. Saat itu usiaku menginjak 20 tahun, kuliah
semester 3 di fakultas Informatika. Aku adalah anak pertama dari tiga
bersaudara, Wulan dan Ikmal adalah adik-adikku yang saat ini masih
sekolah di tingkat SD. Aku dan Wulan terpaut cukup jauh yaitu 8
tahun. Ibu bilang aku dilahirkan dengan operasi cessar yang
menjadikan Ibu harus menunggu beberapa tahun setelah kelahiranku
untuk bisa melahrkan kembali. Selama ini Ibulah yang menjadi tulang
punggung kami, beliau yang menafkahi kami dan mengurus segala
keperluan yang kami butuhkan dalam keluarga, karena Ayah sudah lama
wafat. Bahkan adik terkecilku Ikmal sama sekali tidak tahu bagaimana
sosok Ayah. Ayah mengalami kecelakaan dalam perjalanannya menuju
Rumah Sakit saat Ibu akan melahirkan Ikmal. Itu sebabnya Ikmal tidak
pernah merasakan bagaimana kasih sayang dari seorang Ayah. Semenjak
kepergian Ayah, Ibu tidak pernah mau menikah lagi walau sering kali
aku mnyarankannya, beliau selalu berkilah "Ibu masih mampu
membesarkan kalian meskipun sendiri." Ah.. Ibu engkau memang
wanita tangguh.
....
Hingga pada tahun 2000
krisis ekonomi yang melanda negeri berdampak pula pada keluarga kami,
perusahaan konfeksi tempat ibu bekerja bangkrut dan harus gulung
tikar. Hal ini menjadikan seluruh pekerjanya di PHK-kan, termasuk
Ibu. Sudah beberapa bulan ini Ibu tidak memiliki perkerjaan meski
telah mencari kesana kemari, berbagai perusahaan dan pabrik yang Ibu
kirimi lamaran tidak ada satupun yang menerimanya. Hal ini memaksa
Ibu harus mencari alternatif lain berbagai kerja serabutanpun beliau
kerjakan, dari mulai mencuci-gosok pakaian tetangga hingga menjadi
pembantu yang bisa pulang ke rumah pada sore dan malam hari beliau
jalani hanya utuk mendapatkan beberapa lembar Rupiah untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Hal ini membuatku semakin sedih, tapi apa yang
bisa aku lakukan? Aku hanya seorang gadis yang berusia 20 tahun.
Pernah kucoba melamar kerja dengan Ijazah SMA yang ku punya di
Department Store, namun mereka tidak menerima lamaranku. Saat Ibu
tahu hal itu, dengan berleraian air mata beliau memelukku, "Maafkan
Ibu Sekar, maafkan Ibu.Kamu tidak perlu melakukan hal itu."
Semenjak kejadian itu aku lebih memilih diam dirumah, membantu Ibu
dengan cucian dan setrikaan baju orderannya.
Kuliahku pun semakin
terbengkalai, aku jarang sekali datang ke kampus karena harus
membantu Ibu dengan pekerjaan rumah dan sambilannya. Saat ibu harus
pergi kerumah tempat dimana beliau bekerja aku dan Wulan yang
mengurus segala pekerjaan rumah.
Ada rasa haru saat
malam tiba, saat kami berempat bercengkrama di ruangan tengah.
Semenjak Ibu di PHK kami jadi punya lebih banyak waktu untuk bisa
berkumpul bersama beliau seperti sekarang ini. Hal ini membuatku
berfikir, ternyata akan selalu ada hikmah yang bisa kita ambil dari
setiap kejadian, meskipun kejadian itu adalah kejadian yang tidak
kami inginkan. Kebersamaan ini selalu menghadirkan tawa meski dalam
duka, melihat tingkah Ikmal dan Wulan yang masih polos dan belum
begitu mengerti tentang pahit dan sulitnya keadaan ekonomi kami saat
itu, mampu meringankan sedikit beban yang kami rasakan. Mereka adalah
pelipur lara bagiku dan juga Ibu, melihat senyuman dan tawa lepas
tanpa beban dari bibir-bibir mungil mereka membuat kami bahagia. Dan
bagiku inilah harta yang sesungguhnya, cinta dan kasih sayang dalam
keluarga.
....
Kriiiiing...
Kriiiiiiing.... Telepon di rungan tengah rumah kami berdering, adik
kecilku Ikmal langsung berlari menghampiri dan segera mengangkat
gagang telepon. Dia memang yang paling gesit melangkah saat telpon
butut penghuni meja kayu di sudut ruangan tengah mengeluarkan suara
nyaringnya. "jangan lari dek nanti kamu jatuh." teriaku
yang tengah sibuk dengan setrikaan baju di ruang belakang.
"tenang aja
Mbak aku kan jago lari." jawabnya nyeletuk. "ah Ikmal."
gumamku dlam hati, kutengokan kepala mencoba meraih sosoknya dengan
pandangan, kulihat sosok mungilnya kembali menghapiriku.
"Mbak itu telpon
buat Mbak Sekar." ucapnya, aku datang menghampiri Ikmal dengan
senyum kuelus rambut hitam adikku itu. "dari siap Dek?"
tanyaku, Ikmal hanya mengangkat kedua bahunya sebagai tanda bahwa dia
tidak tahu.
"Halo, dengan
Sekar?" suara diseberang menyapaku. Dari nada bicaranya yang
sudah tidak asing di telingaku membuat aku segera tahu siapa yang
berada di seberang sana, "ah ini pasti Pak Mukhtar" tebakku
dalam hati. Pak Mukhtar adalah salah satu pegawai Tata Usaha di
kampus tempatku kuliah.
"Betul"
segera kujawab pertanyaan baliau
"Sekar ini saya
Bapak Mukhtar." ah benar juga dugaanku.
"Selamat sore Pak
Mukhtar, ada apa ya tumben sore-sore begini menghubungi saya."
"Sekar ada hal
penting yang mau Bapak sampaikan sama kamu" sejenak pak Mukhtar
menghentikan ucapannya, terdengar helaan nafas panjang seolah hendak
mngeluarkan kata-kata yang tidak mudah beliau sampaikan.
"Sekar, karena
kamu menunggak biaya bulanan yang sudah lebih dari satu semeter ini
maka pihak kampus dengan sangat berat hati dan terpaksa harus
mengeluarkan kamu dari
Universitas ini."
Tiba-tiba sekujur
tubuhku kaku setelah mendengar pernyataan pak Mukhtar tersebut, air
mata yang meleleh disudut mata mulai mengalir deras dipipiku, membuat
Ikmal yang duduk disampingku berdiri terheran dan ketakutan.
"Mbak, mbak Sekar
kenapa nangis?" tanyanya seraya ikut menangis melihatku terisak.
"Halo, halo, Sekar
kamu masih disana." suara diseberang telpon tidak lagi
kuhiraukan. Aku menaruh kembali gagang telpon ketempatnya semula,
kupeluk adikku Ikmal yang menangis memeluk pinggangku.
Tok tok tok...
seseorang mengetuk pintu kamarku, dengan mata sembab kubuka pintu.
Kulihat sosok Ibu berdiri di hadapanku, dengan daster merah hati dan
corak bunga. Beliau terlihat anggun, masih nampak sisa-sisa
kecantikan dibalik kerutan yang sudah mulai memenuhi kulit wajahnya.
Setelah pintu kubuka, Ibu masuk kedalam kamar mengikuti langkahku.
Dibelainya lembut kepalaku yang berada di pangkuannya, dengan suara
yang tercekat beliau berusaha menenangkan tangisku.
....
"Wulan jaga Ibu
sama adek Ikmal yah selama Mbak Sekar tidak di rumah." kubelai
kepala adeku dan kutatap mimik wajahnya yang lugu, kepeluk dia
erat-erat.
"Mbak perginya
berapa lama? Jangan terlalu lama yah kasihan Ibu nanti pasti kangen.
Wulan sama Ikmal juga." suara Wulan yang tersendat disela
tangisannya membuat tangisku semakin menjadi, kepeluk dia lebih erat.
"Mbak cuma pergi
sebentar sayang, nanti saat Wulan masuk SMP Mbak pasti sudah pulang."
jawabku mencoba menenangkan tangisnya.
"Mbak nanti
kalo udah dapet banyak
duitny cepet pulang ya" Ikmal menimpali dan berlari dari pelukan
Ibu menghampiriku dan Wulan, kurengkuh dia serta Wulan dan kita
saling berpelukan.
Kulihat Ibu yang masih
berdiri disamping pintu rumah kami dengan senyum getir terulas
disudut bibir beliau, sesekali kulihat tangannya sibuk menyeka air
mata yang menetes.
"Ibu, engkaulah
wanita terhebat yang pernah kukenal. Selama bertahun-tahun kau rela
membanting tulang untuk menghidupi anak-anakmu, kini biarkan aku yang
melakukaknya. Biarkan aku yang membahagiakanmu karena sudah cukup kau
peras keringat dan tenagamu." gumamku dalam hati. Kusapu air
mataku dan kuhampiri beliau, kupeluk tubuhnya yang semakin hari
semakin ringkih. "ah Ibu, sangat menyayangimu." ucapku
dalam hati.
"sudahlah Bu,
jangan menangis. Sekar kan nanti juga akan pulang, 2 tahun itu tidak
lama kok."
bisiku pada beliau.
"Kamu harus
pintar-pintar jaga diri ya nak, hidup jauh dari keluarga dan ikut
ornag itu tidak mudah apalagi luar negeri. Ingat sopan santun dan
Agama, apapun yang terjadi selalu mintalah perlindungan pada Gusti
Allah, karena dimanapun kamu berada Allah akan selalu berada
didekatmu. Maafkan Ibu yang harus membiarkanmu merantau jauh."
Tangisan Ibu semakin pecah dalam pelukanku. Kembali kupeluk erat Ibu
dan adik-adiku.
Suara seponsor yang
akan membawaku ke PJTKI tempat dimana aku akan ditampung sebelum
kemudian diterbangkan ke negara tempat tujuanku bekerja mengakhiri
acara perpisahanku bersama Ibu dan adik-adiku yang mengharu-biru.
Dari balik kaca mobil Zeep hitam kulihat wajah ketiga orang yang
teramat aku sayangi semakin jauh dan menjauh, lalu kemudian hilang
dibalik kegelapan malam.
....
"Sekar..!"
Suara berat yang
terdengar sudah tidak asing lagi di telinga membuyarkan lamunanku.
Kutengokan kepala kearah sumber suara itu, Ibu-ibu dengan daster
coklat tua bercorak batik berlari dan langsung memeluku yang kemudian
di ikuti oleh dua bocah yang juga teriak-teriak girang memanggil
namaku.
"Mbak Sekar, mbak
Sekar. Hore mbak Sekar pulang."
Ah... akhirnya kembali
aku bisa merasakan hangatnya pelukan dari mereka bertiga, mereka yang
menjadi penyemangat sekaligus penguat langkah dalam hidupku.
Comments
Post a Comment