Friday, June 07, 2013

Cerpen : Jalan Hidup (Published 2 Apakabar plus Edisi #06 Thn VIII

Jalan Hidup

"Sekar...!" suara berat yang terdengar sudah tidak asing lagi di telinga membuyarkan lamunanku, lamunan akan masa yang lalu.

.... 2 tahun lalu.
"Sudahlah Sekar, berhentilah menangis. " suara Ibu yang terdengar tegas menenangkanku namun beliau jelas tidak bisa menyembunyikan paraunya suara itu, seolah ada sesuatu yang menggantung diujung kerongkongannya, sesuatu yang begitu berat yang ingin beliau tahan.
"Tapi Sekar tetap harus melanjutkan kuliah Sekar bu, kalau sekar harus berhenti sekarang bagaimana dengan masa depan Sekar kelak?" Air mataku semakin deras mengalir, ada rasa marah, kesal dan entah apalah yang bercampur aduk bersama lelehannya.
"Ibu mengerti nak, Ibu juga merasakan apa yang kamu rasakan." kali ini suara Ibu sudah terselingi dengan isakan, rupanya beliau sedah tidak mampu menahan tangisnya lagi. Ada rasa sakit yang mencubit-cubit hati saat kulihat aliran anak sungai semakin deras membelah pipi mulus Ibu.
"Maafkan Ibu Sekar, maafkan Ibu yang tidak bisa banyak membantumu." tangisan ibu semakin memecah dalam pelukanku, kudekap erat tubuh beliau, erat dan semakin erat.

.....

Perkenalkan namaku Sekar, Sekar Arum Ningsih. Saat itu usiaku menginjak 20 tahun, kuliah semester 3 di fakultas Informatika. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, Wulan dan Ikmal adalah adik-adikku yang saat ini masih sekolah di tingkat SD. Aku dan Wulan terpaut cukup jauh yaitu 8 tahun. Ibu bilang aku dilahirkan dengan operasi cessar yang menjadikan Ibu harus menunggu beberapa tahun setelah kelahiranku untuk bisa melahrkan kembali. Selama ini Ibulah yang menjadi tulang punggung kami, beliau yang menafkahi kami dan mengurus segala keperluan yang kami butuhkan dalam keluarga, karena Ayah sudah lama wafat. Bahkan adik terkecilku Ikmal sama sekali tidak tahu bagaimana sosok Ayah. Ayah mengalami kecelakaan dalam perjalanannya menuju Rumah Sakit saat Ibu akan melahirkan Ikmal. Itu sebabnya Ikmal tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang dari seorang Ayah. Semenjak kepergian Ayah, Ibu tidak pernah mau menikah lagi walau sering kali aku mnyarankannya, beliau selalu berkilah "Ibu masih mampu membesarkan kalian meskipun sendiri." Ah.. Ibu engkau memang wanita tangguh.

....

Hingga pada tahun 2000 krisis ekonomi yang melanda negeri berdampak pula pada keluarga kami, perusahaan konfeksi tempat ibu bekerja bangkrut dan harus gulung tikar. Hal ini menjadikan seluruh pekerjanya di PHK-kan, termasuk Ibu. Sudah beberapa bulan ini Ibu tidak memiliki perkerjaan meski telah mencari kesana kemari, berbagai perusahaan dan pabrik yang Ibu kirimi lamaran tidak ada satupun yang menerimanya. Hal ini memaksa Ibu harus mencari alternatif lain berbagai kerja serabutanpun beliau kerjakan, dari mulai mencuci-gosok pakaian tetangga hingga menjadi pembantu yang bisa pulang ke rumah pada sore dan malam hari beliau jalani hanya utuk mendapatkan beberapa lembar Rupiah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini membuatku semakin sedih, tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya seorang gadis yang berusia 20 tahun. Pernah kucoba melamar kerja dengan Ijazah SMA yang ku punya di Department Store, namun mereka tidak menerima lamaranku. Saat Ibu tahu hal itu, dengan berleraian air mata beliau memelukku, "Maafkan Ibu Sekar, maafkan Ibu.Kamu tidak perlu melakukan hal itu." Semenjak kejadian itu aku lebih memilih diam dirumah, membantu Ibu dengan cucian dan setrikaan baju orderannya.
Kuliahku pun semakin terbengkalai, aku jarang sekali datang ke kampus karena harus membantu Ibu dengan pekerjaan rumah dan sambilannya. Saat ibu harus pergi kerumah tempat dimana beliau bekerja aku dan Wulan yang mengurus segala pekerjaan rumah.
Ada rasa haru saat malam tiba, saat kami berempat bercengkrama di ruangan tengah. Semenjak Ibu di PHK kami jadi punya lebih banyak waktu untuk bisa berkumpul bersama beliau seperti sekarang ini. Hal ini membuatku berfikir, ternyata akan selalu ada hikmah yang bisa kita ambil dari setiap kejadian, meskipun kejadian itu adalah kejadian yang tidak kami inginkan. Kebersamaan ini selalu menghadirkan tawa meski dalam duka, melihat tingkah Ikmal dan Wulan yang masih polos dan belum begitu mengerti tentang pahit dan sulitnya keadaan ekonomi kami saat itu, mampu meringankan sedikit beban yang kami rasakan. Mereka adalah pelipur lara bagiku dan juga Ibu, melihat senyuman dan tawa lepas tanpa beban dari bibir-bibir mungil mereka membuat kami bahagia. Dan bagiku inilah harta yang sesungguhnya, cinta dan kasih sayang dalam keluarga.

....

Kriiiiing... Kriiiiiiing.... Telepon di rungan tengah rumah kami berdering, adik kecilku Ikmal langsung berlari menghampiri dan segera mengangkat gagang telepon. Dia memang yang paling gesit melangkah saat telpon butut penghuni meja kayu di sudut ruangan tengah mengeluarkan suara nyaringnya. "jangan lari dek nanti kamu jatuh." teriaku yang tengah sibuk dengan setrikaan baju di ruang belakang.
"tenang aja Mbak aku kan jago lari." jawabnya nyeletuk. "ah Ikmal." gumamku dlam hati, kutengokan kepala mencoba meraih sosoknya dengan pandangan, kulihat sosok mungilnya kembali menghapiriku.
"Mbak itu telpon buat Mbak Sekar." ucapnya, aku datang menghampiri Ikmal dengan senyum kuelus rambut hitam adikku itu. "dari siap Dek?" tanyaku, Ikmal hanya mengangkat kedua bahunya sebagai tanda bahwa dia tidak tahu.
"Halo, dengan Sekar?" suara diseberang menyapaku. Dari nada bicaranya yang sudah tidak asing di telingaku membuat aku segera tahu siapa yang berada di seberang sana, "ah ini pasti Pak Mukhtar" tebakku dalam hati. Pak Mukhtar adalah salah satu pegawai Tata Usaha di kampus tempatku kuliah.
"Betul" segera kujawab pertanyaan baliau
"Sekar ini saya Bapak Mukhtar." ah benar juga dugaanku.
"Selamat sore Pak Mukhtar, ada apa ya tumben sore-sore begini menghubungi saya."
"Sekar ada hal penting yang mau Bapak sampaikan sama kamu" sejenak pak Mukhtar menghentikan ucapannya, terdengar helaan nafas panjang seolah hendak mngeluarkan kata-kata yang tidak mudah beliau sampaikan.
"Sekar, karena kamu menunggak biaya bulanan yang sudah lebih dari satu semeter ini maka pihak kampus dengan sangat berat hati dan terpaksa harus mengeluarkan kamu dari Universitas ini."
Tiba-tiba sekujur tubuhku kaku setelah mendengar pernyataan pak Mukhtar tersebut, air mata yang meleleh disudut mata mulai mengalir deras dipipiku, membuat Ikmal yang duduk disampingku berdiri terheran dan ketakutan.
"Mbak, mbak Sekar kenapa nangis?" tanyanya seraya ikut menangis melihatku terisak.
"Halo, halo, Sekar kamu masih disana." suara diseberang telpon tidak lagi kuhiraukan. Aku menaruh kembali gagang telpon ketempatnya semula, kupeluk adikku Ikmal yang menangis memeluk pinggangku.

Tok tok tok... seseorang mengetuk pintu kamarku, dengan mata sembab kubuka pintu. Kulihat sosok Ibu berdiri di hadapanku, dengan daster merah hati dan corak bunga. Beliau terlihat anggun, masih nampak sisa-sisa kecantikan dibalik kerutan yang sudah mulai memenuhi kulit wajahnya. Setelah pintu kubuka, Ibu masuk kedalam kamar mengikuti langkahku. Dibelainya lembut kepalaku yang berada di pangkuannya, dengan suara yang tercekat beliau berusaha menenangkan tangisku.
....

"Wulan jaga Ibu sama adek Ikmal yah selama Mbak Sekar tidak di rumah." kubelai kepala adeku dan kutatap mimik wajahnya yang lugu, kepeluk dia erat-erat.
"Mbak perginya berapa lama? Jangan terlalu lama yah kasihan Ibu nanti pasti kangen. Wulan sama Ikmal juga." suara Wulan yang tersendat disela tangisannya membuat tangisku semakin menjadi, kepeluk dia lebih erat.
"Mbak cuma pergi sebentar sayang, nanti saat Wulan masuk SMP Mbak pasti sudah pulang." jawabku mencoba menenangkan tangisnya.
"Mbak nanti kalo udah dapet banyak duitny cepet pulang ya" Ikmal menimpali dan berlari dari pelukan Ibu menghampiriku dan Wulan, kurengkuh dia serta Wulan dan kita saling berpelukan.
Kulihat Ibu yang masih berdiri disamping pintu rumah kami dengan senyum getir terulas disudut bibir beliau, sesekali kulihat tangannya sibuk menyeka air mata yang menetes.
"Ibu, engkaulah wanita terhebat yang pernah kukenal. Selama bertahun-tahun kau rela membanting tulang untuk menghidupi anak-anakmu, kini biarkan aku yang melakukaknya. Biarkan aku yang membahagiakanmu karena sudah cukup kau peras keringat dan tenagamu." gumamku dalam hati. Kusapu air mataku dan kuhampiri beliau, kupeluk tubuhnya yang semakin hari semakin ringkih. "ah Ibu, sangat menyayangimu." ucapku dalam hati.
"sudahlah Bu, jangan menangis. Sekar kan nanti juga akan pulang, 2 tahun itu tidak lama kok."
bisiku pada beliau.
"Kamu harus pintar-pintar jaga diri ya nak, hidup jauh dari keluarga dan ikut ornag itu tidak mudah apalagi luar negeri. Ingat sopan santun dan Agama, apapun yang terjadi selalu mintalah perlindungan pada Gusti Allah, karena dimanapun kamu berada Allah akan selalu berada didekatmu. Maafkan Ibu yang harus membiarkanmu merantau jauh." Tangisan Ibu semakin pecah dalam pelukanku. Kembali kupeluk erat Ibu dan adik-adiku.
Suara seponsor yang akan membawaku ke PJTKI tempat dimana aku akan ditampung sebelum kemudian diterbangkan ke negara tempat tujuanku bekerja mengakhiri acara perpisahanku bersama Ibu dan adik-adiku yang mengharu-biru. Dari balik kaca mobil Zeep hitam kulihat wajah ketiga orang yang teramat aku sayangi semakin jauh dan menjauh, lalu kemudian hilang dibalik kegelapan malam.

....

"Sekar..!"
Suara berat yang terdengar sudah tidak asing lagi di telinga membuyarkan lamunanku. Kutengokan kepala kearah sumber suara itu, Ibu-ibu dengan daster coklat tua bercorak batik berlari dan langsung memeluku yang kemudian di ikuti oleh dua bocah yang juga teriak-teriak girang memanggil namaku.
"Mbak Sekar, mbak Sekar. Hore mbak Sekar pulang."
Ah... akhirnya kembali aku bisa merasakan hangatnya pelukan dari mereka bertiga, mereka yang menjadi penyemangat sekaligus penguat langkah dalam hidupku.


No comments:

Post a Comment